Integritas Panitia Tarung Bebas Saortua Marbun\citep{marbun2018} Tahun ini dan tahun mendatang menjadi momen "tarung bebas" bernama Pemilihan Kepala Daerah hingga Pemilihan Kepala Negara, yang dimeriahkan dengan pemelilihan wakil rakyat DPD, DPR, DPRD. Pertarungan elektoral itu ditandai dengan perang opini bermuatan "kepentingan". Tema yang diulas "perlambatan pertumbuhan ekonomi", "utang negara". Para pihak terlibat dalam berebut ”piala” kekuasaan lima tahunan. Sementara itu pihak "pemberi kuasa" bergumul karena terabaikan, terpinggirkan, dan tidak terwakili. Meminjam istilah Ashraf \citet{ghani2005} yang menyebut bahwa rakyat terus menerus menjadi korban kapitalisme dan demokrasi. Rakyat tidak diuntungkan dari kedua sistem tersebut. Mereka tidak memiliki dana sebagai kapital. Uang hanya digunakan sebagai alat penukar, berbelanja kebutuhan hidup, sembako secukupnya. Upah minimum untuk memenuhi kebutuhan hidup layak masih menjadi perdebatan. Secara demokratis, rakyat tidak menjadi "pemilik kekuasaan" yang sesungguhnya. Keterlibatan rakyat dalam negara demokrasi hanya sebatas voting. Keuntungan maksimal dari "kekuasaan" justru dinikmati para pemenang pertarungan. Sekali pun kata "rakyat" ribuan kali diucap dan ditulis namun "rakyat miskin" dan "kemiskinan" terasa dijadikan "lipstick" oleh mereka yang sedang "gelojoh kuasa". Tentu saja, logis, bila "Penyelenggara Tarung Bebas" - dituntut bekerja keras. Kehadiran "mereka" sangat dibutuhkan karena dua kata "Kapitalisme dan Politik" kini sedang berada di arena. Demokrasi itu cenderung dimenangi oleh pemilik modal yang menjadi kontestan atau pemilik modal yang berada di belakang kandidat. Mereka piawai bermain peran, menggunakan berbagai trik dan jurus. Menggoreng identitas, menabur hoaks, kampanye hitam, politik uang dan seterusnya. Realita itu yang menjadi alasan bagi "Panitia" untuk memadu kekuatan, misalnya, mengerahkan Satuan Tugas Antik Politik Uang, anti hoaks, anti politik SARA dan anti-anti lainnya. Kita berharap agar kata kunci miskin, kemiskinan, rakyat miskin, petani miskin, nelayan miskin, rakyat lemah, tidak mampu, tidak berdaya - hendaknya tidak dijadikan pelengkap riasan wajah aktor demi mengkatrol elektabilitas. Nominal bantuan, sumbangan, derma, santunan yang diberikan jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan "biaya advertorial", nominal itu semakin tidak berarti bila menimbang "manfaat intangible" yang dinikmati "donatur politis" yang muncul menjadi dermawan yang patut di "vote", di "like". Donasi "sembako, pengobatan gratis, pemeriksaan kesehatan gratis" berlabel elektoral itu bagaikan "beberapa butiran nasi" yang jatuh dari jemputan "tidak sebanding dengan sajian" yang terhidang di meja. Panitia diharapkan menjadi "wasit", menjadi "hakim pertandingan" yang benar, adil, berwibawa, independen, tepat aturan, tepat waktu. Bila wasit "lemah" kita pun tahu akibatnya. Bila hakim di sisi ring tidak adil maka pertarungan menjadi liar. Bila tata tertib permainan tidak ditegakkan, tentu hadiah kemenangan bisa jatuh ke tangan pecundang, curang. Firman Allah berkata, "Engkau tidak boleh memutarbalikkan keadilan, engkau tidak boleh memandang muka atau menerima suap, karena suap benar-benar membutakan mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang benar." \cite{sabdab}(Ulangan 16:19, MILT) Negeri ini sangat membutuhkan satgas yang terdiri dari, "Ia yang berjalan dalam kebenaran, dan yang berbicara dalam kejujuran, dia yang menolak keuntungan dari pemeras, yang mengebaskan tangannya dari mengambil uang suap, yang menutup telinganya dari mendengar tentang darah, dan menutup matanya dari melihat yang jahat." \cite{sabda}(Yesaya 33:15, MILT) Memberantas politik uang, tidak semudah mengatakan, "terima saja uangnya tetapi jangan pilih orangnya." Semua pihak perlu diingatkan bahwa, "karena cinta akan uang ialah sumber segala jenis kejahatan. Ada orang-orang yang sesat dari imannya dan menikam diri mereka dengan berbagai dukacita oleh karena mereka mengejar-ngejar uang." \cite{sabdaa}(1 Timotius 6:10, Shellabear) Menerima atau memberi uang dalam konteks demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Tuhan.(*)
Menabur Benih Politik Berkeadaban Saortua Marbun\citep{Marbun2018} Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma [email protected] | http://orcid.org/0000-0003-1521-7694  DOI: 10.22541/au.151623662.20184822 ©2018 Saortua Marbun  "Tampaknya Bawaslu dan Satgas Anti Money Politic, anti SARA, anti hoaks - kali ini tidak main-main. Jangan sampai dirimu tertangkap tangan kawan. Jika tidak takut dilihat oleh TUHAN, setidaknya takutlah pada kamera CCTV, hidden cameras, "mata-mata", kamera media massa." Begitulah isi salah satu cuitan yang diposting di media sosial.\citep{marbun2018a} Menurut Amartya Sen (2009) di dalam \citet{rido2017} , hakikat demokrasi adalah terdorongnya fungsi pembangun dalam pembentukan nilai-nilai dan pentingnya hakikat kehidupan manusia (kesejahteraan). Akan tetapi realitanya belum demikian. \citet{wattimena2018}, menulis bahwa "politik telah tercabut" dari keutamaan, tercabut dari spiritualitas, tercabut dari ilmu pengetahuan dan tercabut dari budaya. Oleh sebab itu Negara harus menunjukkan "taringnya" - agar hajatan politik - tahun ini dan seterusnya - kembali ke jati diri politik luhur, hakikat demokrasi. Politik tercabut dari keutamaan dan filsafat yang mendasarinya, sehingga ia berubah menjadi transaksi kekuasaan yang mengorbankan kepentingan rakyat luas. Politik yang sejatinya sebuah profesi luhur untuk mewujudkan konsensus demi kebaikan bersama melalui kebijakan cerdas dan keteladanan. Keluhuran profesi ini bagai "lenyap" ditelan oleh “syahwat” kekuasaan. Politik bermetamorfosa menjadi musuh-musuh kebaikan. Sikap dan perilaku berpolitik masa kini telah memisahkan diri dari narasi kesantunan. Internalisasi nilai dan kultur demokrasi berkeadaban pada level massa - terpinggirkan. Politik sudah tercabut dari ilmu pengetahuan. Beragam kebijakan politik diproduksi tanpa dasar rasionalitas, tanpa dukungan penelitian ilmiah yang bermutu. Berulangkali publik dibuat tidak berdaya oleh kebijakan politik yang dibuat atas dasar persekongkolan dengan pemilik modal yang korup, ujungnya merugikan kepentingan publik. Beragam kebijakan yang ada justru tidak masuk akal sehat, terkadang memperburuk persoalan yang sudah ada. Politik sudah tercabut dari spiritualitas atau cara hidup yang mengedepankan aspek-aspek kemanusiaan universal di dalam segala keputusan dan perilaku. Politik masa kini telah menghimpit spiritualitas menjadi sebatas agama yang dijadikan kendaraan dan menjadi topeng untuk menutupi aroma amis dari kebusukan. Sadar atau tidak, kampanye politik yang menunggangi agama menjadi salah satu indikasi bahwa aktor dan dalang di balik layar itu korup.   Politik sudah tercabut dari budaya, ia menjadi korban dari nilai-nilai yang diimport dari nilai-nilai Barat dan Timur Tengah. Alhasil, nilai-nilai luhur budaya setempat terkikis, lenyap. Politik yang tercabut dari budaya justru menciptakan keterasingan dan melahirkan kemiskinan dan kebodohan yang semakin parah di tengah masyarakat. Demokrasi masa kini telah menciptakan "permusuhan" antar pendukung - para pihak memandang yang lain sebagai musuh politik, mereka saling berhadap-hadapan pada pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur, legislatif hingga pemilihan presiden. Ketegangan elektoral tahun 2013 yang lalu rasanya masih segar, kini 2018 publik berharap demokrasi berlangsung dalam suasana teduh. Rasanya tepat membaca kembali tulisan \citet{thohari2014}, "Pada masa lalu perebutan kekuasaan dan takhta dilakukan dengan peperangan yang sarat dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Politik demokrasi memberikan mekanisme "perebutan takhta" secara adil, sehat, dan berkeadaban melalui pemilihan umum. Maka, sangat ironis jika pemilihan umum yang mestinya berkeadaban itu kembali diperlakukan menjadi laksana peperangan perebutan takhta yang keras, kasar, dan brutal seperti masa pramodern dulu." Oleh sebab itu, keseriusan penyelenggara bersama seluruh pemangku kepentingan tentu sangat diperlukan dalam upaya menyemai benih politik yang sehat seraya memutus akar-akar politik yang bermasalah. Masa depan, keutuhan dan kesejahteraan bangsa menjadi taruhannya - bila upaya ini gagal maka politik akan menjadi mesin penghancur yang membawa petaka kemiskinan, penderitaan, kehancuran moral. Firman Allah berkata, "Bangsa yang tidak mendapat bimbingan dari TUHAN menjadi bangsa yang penuh kekacauan. Berbahagialah orang yang taat kepada hukum TUHAN." (Amsal 29:18, BIS) \cite{sabda}.  
Menata Impresi dengan Angka Kemiskinan Saortua Marbun 11 Januari 2018Rasul Yohanes menulis pada pasal 12 ayat 3-8. Maria, saudari Lazarus, "mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau minyak semerbak di seluruh rumah itu. Tetapi Yudas Iskariot, berkata: "Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?" Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya. Maka kata Yesus: "Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak akan selalu ada pada kamu." "Tindakan Maria ini merupakan suatu pengorbanan besar, karena minyak narwastu murni itu sangat mahal harganya. Maria sadar bahwa kesempatan untuk mengungkapkan pengabdian kepada Yesus segera akan berakhir, karena itu dia memanfaatkan kesempatan yang tersedia. Iman dan pengabdiannya kepada Tuhan merupakan teladan tertinggi dari apa yang diinginkan Allah dari orang percaya."\cite{sabda}  Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”\cite{subekan2014} Itu betul. Wajar pula bila ada oknum selaku "negarawan" menaruh peduli pada "angka kemiskinan". Namun demikian, perhatian tersebut dapat dimaknai "terbalik" apabila dilontarkan dalam konteks "kontestasi politik" misalnya menjelang pilkada dan pilpres. Kata kunci "miskin, petani, nelayan" kerap muncul sebagai "lipstick" atau bedak penghias paras. Mengulas angka kemiskinan dengan segudang kepentingan. Mengelola impresi sembari memanfaatkan sorotan kamera. Sadar bahwa "komentar" tersebut disaksikan banyak orang. Tidakkah hal itu mirip dengan kemunafikan Yudas Iskariot? Tentu saja, "si miskin, si fakir, si anak terlantar" - tidak berdaya menolak sekali pun "kata kunci" itu dikapitalisasi, dipolitisir. Oknum memperkuat argumennya dengan data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik. Katanya Maret 2017 penduduk miskin ada 27,77 juta jiwa, sekitar 17,10 juta jiwa di antaranya berada di desa. \cite{bps2017} Data itu, lalu dibandingkan dengan angka periode sebelumnya, katanya semakin parah. Ujung-ujungnya pemerintah "katanya" belum berhasil. Timpang di sana-sini, "katanya". Sekilas memberi kesan menarik dan meyakinkan. Namun, bila dicermati secara kritis "impresi" itu mirip dengan kemunafikan Yudas Iskariot. Ucapan dan niatnya tidak selaras. Wacana kepedulian terhadap si miskin ibarat peribahasa yang berkata, "telunjuk lurus, kelingking berkait." Tampaknya baik, tetapi hatinya diragukan. Di pihak lain, ada "oknum" yang secara sukarela, melaksanakan pengobatan gratis, memberi bantuan secara swadaya. Mereka tidak melibatkan media, tidak bersuara, tentu saja informasinya tidak meluas diketahui publik. Kontras dengan oknum yang lihai melipat kelingking seraya meluruskan telunjuk - menuding dengan "maksud" yang dapat dipahami pemirsa. Perempuan bernama Maria meminyaki kaki Kristus di Kota Betania. Sebuah kota di mana Lazarus pernah dibangkitkan oleh Yesus dari kematian. Mujizat yang terjadi di sana membuat tempat itu menjadi masyhur. Ketika Yesus tiba di Betania, diadakan perjamuan sebagai sambutan untuk Dia. Maria pun menunjukkan rasa hormat dan rasa syukur karena kematian dan kebangkitan kakak lelakinya, Lazarus. Minyak setengah kati (setengah liter) seharga 300 Dinar dipersembahkan kepada Yesus, sebagai persembahan yang terbaik. Persembahan yang termahal, karena harganya setara dengan upah seorang pekerja selama 300 hari. Yesus Kristus tidak keberatan atas perbuatan Maria. Akan tetapi, Yudas Iskariot tampaknya gagal memahami makna tertinggi dari perbuatan Maria. Yudas melontarkan kritik seraya berkata, "Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?" Bagi Yudas, perbuatan Maria itu adalah suatu "pemborosan" - dan ia tidak bisa mengerti, "Mengapa Yesus membiarkan hal itu?" "Apakah Yesus tidak lagi memperhatikan orang-orang miskin?" Menurut Matthew Henry, "Yudas, seorang dari murid-murid Yesus bersungut-sungut atas tindakan Maria. Memang tidak aneh bila orang-orang yang paling jahat menyamar di balik pengakuan iman mereka yang terbaik. Banyak orang berpura-pura mengaku mengenal Kristus, padahal mereka sama sekali tidak mengasihi-Nya. Yudas adalah seorang rasul, seorang pengkhotbah Injil, tetapi ia malah berkeberatan dan mencela perbuatan yang menunjukkan kasih sayang dan pengabdian yang tulus seperti yang dilakukan Maria tadi. Perhatikan, menyedihkan sekali jika kehidupan agama dan semangat yang kudus malah dicerca dan ditolak oleh orang-orang yang justru seharusnya mendorong dan menyokong semuanya itu."\cite{sabdaa}"kasih yang telah mendingin terhadap Kristus dan kebencian tersembunyi terhadap kesalehan yang tulus, bila muncul dalam diri penganut agama, maka ini menjadi pertanda buruk akan terjadinya kemurtadan. Orang-orang munafik yang biasanya tidak mudah tergelincir karena godaan-godaan duniawi, justru lebih mudah jatuh oleh karena godaan-godaan yang lebih besar daripada itu." "rasa amal terhadap orang miskin dijadikan alasan untuk menentang kesalehan yang ditujukan kepada Kristus dan dijadikan kedok untuk menyembunyikan ketamakan." "Keberatan Yudas itu tidak didasari oleh kepeduliannya untuk beramal: Bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin. Dia tidak memiliki belas kasihan terhadap mereka, sama sekali tidak peduli kepada mereka: baginya, orang-orang miskin hanyalah sekedar alat untuk mendapatkan keinginannya, dengan cara berpura-pura memperhatikan mereka." "Keberatan Yudas itu justru muncul karena ketamakannya. Kenyataannya adalah, dia lebih menginginkan minyak narwastu yang dipersembahkan untuk Guru-nya itu supaya dijual saja, lalu uangnya dapat dimasukkan ke dalam kas yang ia pegang, dan setelah itu ia tahu apa yang akan dilakukannya."\cite{sabdaa} Maria tidak berhenti, karena ia melakukannya sebagai tanda kasih. Perbuatan Yesus Kristus yang telah membangkitkan Lazarus tidak dapat dapat dibalas dengan apa pun. Sebagai umat yang beriman, tentu kita pun patut berterima kasih atas kasih dan pengorbanan Kristus bagi kita. Kiranya kita menjadi peniru teladan ketulusan hati Maria. Semoga pula, impresi ala Yudas Iskariot dijauhkan dari anda dan saya.(*)
BOOK REVIEWStrangers and Friends at the Welcome Table: Contemporary Christianities in the American South, By  James Hudnut-Beumler, Chapel Hill, NC., University of North Carolina Press., 2018., ISBN. 978-1-4696-4037-2., i-x., 1-289 pp., Hardcover $27.47.   Hudnut-Beumler presents this fascinating chronicle of Christianity for more than the past 75 years, as an overall image of the dominant religion in some of the Southern states of America. The author narrates experiences, believes and faithful practices of Christians in both rural and urban communities. The book is thus a critical analysis of different religious communities, especially their intrinsic difficulties in smoothing down differences connecting to religion, myths, and peculiarity of culture among Christians. This book, therefore, presents the author’s notion that to understand Christianity in the twenty-first century; one has to engage diverse perceptions of Christian practices.The writer narrated his life experiences since childhood when the family traveled from Michigan, to visit relatives in South Webster, Ohio. The author recounts the differences in accent practices, for instance, the high number of small churches along a small main street. The author also recalls unique religious and cultural traditions such as attending church services on Sunday and Wednesday nights, when different church bells rang at different times. Writer, therefore, creates a distinctive impression of the American South, as a place retaining a broad historical sense, concerning differences in race, kinship, faith, myths, and geographical settings. The author tries to find out the intensity of this cultural distinctiveness, and its homogeneity with the contemporary American culture, since the observable differences might be either functionless or essential in the current evolving society.According to the writer, there is extreme segregation of faith among Christians in the South, whom he refers to as a “religion of the lost cause” that glamorize the civil war. The writer narrates how the white, Protestants and other conservative Christian communities still dominate the South. This narration on religion is fascinating due to the included range of stories concerning practices by different Christian groups, for instance, the rattlesnakes and holiness. The author also narrates how the Catholic Church tries to reconnect with communities by cleaning up the aftermath of calamities, for example, the 2015 mass shooting at Charleston's Emanuel A.M.E. Church, where the faithful try to enhance reconciliation by teaching Christian values of morality and forgiveness. The author also presents the church clean-up exercise, after hurricane Katrina, and Mississippi floods. The author depicts the rapid emergence of other megachurches, different parenting behaviors, where there appear to be more home-schooling systems for children on a matter that are common in contemporary society such as theories concern with the creation and gay Christians. Writer, therefore, presents the rapid social diversity and unpredictable changes such as revolution from the Spanish language used in church services to a more robust Christian home-schooling system that seems to rival the public education system.The writer also presents a different picture form the customarily perceived notion indicating that all southern Christians are Christian whites and are conservative especially on political matters since the analysis involves the ideologies, practices, and outlook among current Southern Christians. According to Writer, Christianity is America’s dominant faith. However, a predominant difference grapples the South, regarding practices meant to provide meaning, purpose, and identity. The region has many megachurches than other American areas, for instance, this south region has five times the number of churches in the Northeastern region. All these churches are fully utilized and house multi-denominational practitioners who are highly involved with their congregations.Different churches exist within the same setting, for instance, “the church of God, Church of Christ, Southern Baptist Convention, the church of God in Christ and National Baptist Convention” all consist of over forty percent of the Southern population, who are highly involved members. Other than the Baptist churches, others include the Methodist, Pentecostal, Presbyterian, Holiness, Episcopal and other non-denominational churches common along back streets and roads heading out of town. Contrary, in America, only 16% Catholics and 19% evangelical Lutherans reach such a high level of involvement in Christianity. The writer indicates that religion is not a private practice but a more public practice, noticeable through the manifestation of the number of praying families or individuals in public places such as restaurants and the large billboards along highways publicizing all sort of religious practices. Some of America's Southern cosmopolitan cities with the most significant percentage of practicing Christians include Dallas 78%, Atlanta 76%, Boston 57%, Seattle 52%, and San Francisco at 48%. This statistics, therefore, depicts that the South seems more religious and portrays a stronger Christian base.Conversely, Writer presents a different perspective depicting lack of commonness of Christian practices in the south. The author shows the diversity of views, levels of dissent, procedures concern with practicing faith, loving others, interpreting sin, and fellowshipping. These Christians may, therefore, join in the hymn of "I want to eat at the welcome table" but when these "Strangers and Friends" join at the "Welcome Table," there is either friendship or unfamiliarity among them depending on lifestyle, practices, and beliefs. Christians in the South maintain a firm worship grip of ancestors and institutions of the past. Human imaginations still intimately connect to military services and sacrifices during the civil war that ended over 150 years ago. Christians in the contemporary South therefore always link current situations and meaning of conflicts to effects of past occurrences such as the legacy of slavery and consider such phenomena honorable.The author dramatically captures religion in the southern political arena, where legislatures, leaderboards and a large number of citizens consider the south as predominantly religious. However, the writer shows the different Christian practices in the contemporary South, the origin, and contradictions within the cultural and religious setting. Although the modern South remains highly religious, distinct and dominated by Christians, there is a steady change of status, to the diversification of meaning and interpretation of the expression "Christianity."